Kamis, 16 Februari 2012

Pembentukan Karakter Melalui Kehidupan Komunitas Sekolah


BAB I
Pendahuluan
a.      Latar Belakang
Pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Orangtua, dengan berbagai cara sejak dulu sebelum ada lembaga pendidikan formal yang bernama sekolah seperti sekarang, sudah berusaha mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang baik menurut norma-norma yang berlaku dalam budaya mereka.
Penguatan  pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan mencontek, dan penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga kini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulakn cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini teah menjurus kepada tindakan kriminal (Dimyati, 2010: 48).
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia (Zubaedi, 2011: 2). Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan nyata yang kontradiktif. Pendidikanlah yang barangkali paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini.
Dalam konteks pendidikan  formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual kognitif semata, sedangkan aspek softskill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan jika boleh dikatakan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan (Zubaedi: 2011: 3). Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka Ujian Nasional (UN) adalah sebuah kemunduran. Karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan.paradigma ini menempatkan peserta didik sakan berhentiebagai elajar imitatifdan belajar dari ekspose-ekspose didaktis yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas (Dharma Kesuma,dkk: 2011:9).
Bagi orangtua, sekolah diharapkan menjadi salah satu tempat atau lingkungan yang dapat membantu anak mengembangkan karakter yang baik. Albert Einsten menekankan “agar siswa mendapat pemahaman dan penghayatan yang dalam terhadap tata nilai, dia harus mengembangkan kepekaan yang tinggi terhadap keindahan dan moralitas. Jika tidak, dia dengan pengetahuannya yang sangat khusus akan lebih menyerupai anjing yang terlatih daripada orang yang telah tumbuh dan berkembang secara harmonis”. Hal senada juga ditegaskan oleh Slamet Iman Santoso, yang menyatakan bahwa “pembinaan watak adalah tugas utama pendidikan”.

b.      Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis peran kehidupan komunitas sekolah dalam pembentukan karakter melalui:
1.      Peran interaksi di lingkungan sekolah
2.      Pengembangan Pembelajaran Kontekstual di Kelas
3.      Pengembangann Proses Pembelajaran Pada Mata Pelajaran
4.      Tema karakter mingguan
5.      Buletin berkala
6.      Pertemuan berkala
7.      Mendatangkan tokoh idola siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Karakter
a)      Pengertian Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata pendidikan berasal dari bahasa latin educare, yang memiliki konotasi melatih atau menjinakan, menyuburkan, dan educare yang bisa pula berarti suatu kegiatan untuk menarik keluar atau membawa keluar. Jadi pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat teratur, dan pembimbingan (Doni Koesoema, 2010:53).
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan ini ditandai oleh pewarisan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan karakter bangsa untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang (Said Hamid Hassan,dkk. 2010:4).
Istilah karakter sendiri menimbulkan ambiguitas. Karakter secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, yang artinya “cetak biru”, “format dasar”, “sidik” seperti sidik jari. Tentang ambiguitas terminologi “karakter” ini, Mounier  (Doni Koesoema, 2007:90) melihat karakter sebagai dua hal utama, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian disebut sebagai proses yang dikehendaki (willed).
Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatoppsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Disini istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri” atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir   (Sjarkawi dalam Donie Koesoema, 2007: 79-80).
Said hamid Hasan,dkk dalam naskah akademik pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa Kementerian Pendidikan Nasional (2010:3) merumuskan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada oranglain. Interaksi seseorang dengan oranglain dapat menumbuhkan karakter individu tersebut. 
Lickona (1991: 21) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya.
Pengertian pendidikan karakter selalu mengacu pada bagaimana pribadi yang baik, memperlihatkan kualitas perseorangan yang dapat melihat dengan pertimbangan kondisi sosial untuk mendapatkan karakter dan mengembangkan pribadi yang berkualitas sering kali dengan meninjau tujuan dari pendidikan, rasa melalui penekanan pada kualitas (nilai-nilai positif) seperti jujur, rasa hormat, dan bertanggung jawab.
Dalam Grand Desain Pendidikan Karakter, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Nilai-nilai luhur ini berasal dari teori pendidikan, psikologi pendidikan, dan nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur ini juga perlu didukung oleh komitmen dan kebijakan pemangku kepentingan serta pihak-pihak terkait lainnya termasuk dukungan sarana dan prasarana yang diperlukan (Zubaedi, 2011: 17).
Pendidikan karakter secara akademik dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberkan keputusan baik- buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 2).
Lickona (Elkind  & Sweet, 2004:1) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai:
character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about that is right, and then do what they believe to be right. Even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah merupakan suatu proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membentuk kepribadian seseorang yang merupakan karakter atau ciri khas dari orang tersebut. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan sistematis, sehingga terbentuk kepribadian yang digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Karakter berkaitan dengan personalitas walaupun ada perbedaannya. Personalitas merupakan trait bawaan sejak lahir, sedang karakter merupakan perilaku hasil pembelajaran. Seseorang lahir dengan trait personality tertentu, seseorang ada yang pemalu dan ada yang terbuka dan mudah bicara. Klasifikasi lain adalah apakah seseorang berorientasi pada tugas atau kegiatan sosial. Hal ini yang menjadikan seseorang memiliki sifat ingin menguasai, ingin mempengaruhi, personaliti stabil atau patuh.
Karakter pada dasarnya diperoleh lewat interaksi dengan orangtua, guru, teman, dan lingkungan. Karakter diperoleh dari hasil pembelajaran secara langsung atau pengamatan terhadap orang lain. Pembelajaran langsung dapat berupa ceramah dan diskusi tentang karakter, sedang pengamatan diperoleh melalui pengamatan sehari-hari apa yang dilihat di lingkungan termasuk media televisi. Karakter berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan predisposisi terhadap suatu objek atau gejala, yaitu positif atau negatif. Nilai berkaitan dengan baik dan buruk yang berkaitan dengan keyakinan individu. Jadi keyakinan dibentuk melalui pengalaman sehari-hari, apa yang dilihat dan apa yang didengar terutama dari seseorang yang menjadi acuan atau idola seseorang (Darmiyati Zuchdi,  2011: 185-186).
a)      Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional  satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa Ingin Tahu, (10) semangat Kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, & (18) tanggung jawab. Nilai-nilai karakter tersebut dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1:
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
No
Nilai
Deskripsi
1
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain.
2
Jujur
Perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4
Disiplin
Tindakan yang menunjukan perilaku tertiib dan patuh pada ketentuan dan aturan.
5
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10
Semangat Kebangsaan
Cara berfikir, bertindak, dan berwawasa yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11
Cinta Tanah Air
Car berfikir, bertindak, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepeduliaan, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12
Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
13
Bersahabat/ Komunikatif
Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tndakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikanbagi dirinya.
16
Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengambangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional,  Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, 2009:9-10)

Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Diantara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing.
Rumusan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan karakter  ini memiliki sedikit persamaan dengan rumusan karakter dasar yang berkembang di negara lain, serta karakter dasar yang dikembangkan oleh Ari Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbedaan ini dapat dilihat pada tabel 2:
Tabel 2:
Karakter Dasar Pendidikan Karakter
KARAKTER  DASAR
 Heritage Foundation
Character  Counts (USA)
ESQ – Ary Ginanjar
1.    Cinta kepada Allah dan beserta isinya;
2.    Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri;
3.    Jujur;
4.    Hormat dan santun;
5.    Kasih sayang, peduli, dan kerja sama;
6.    Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah;
7.    Keadilan dan kepemimpinan;
8.    Baik dan rendah hati;
9.    Toleransi, cinta damai, dan persatuan
1.    Dapat dipercaya ( truswonrthiness)
2.    Rasa hormat dan perhatian (respect)
3.    Peduli (caring)
4.    jujur (fairness)
5.    Tanggung jawab (responsibility)
6.    Kewarganegaraan (citizenship)
7.    Ketulusan (honesty)
8.    Berani (courage)
9.    Tekun ( diligence)
10.    Integritas
1.   Jujur
2.   Tanggung jawab
3.   Disiplin
4.   Visioner
5.   Adil
6.   Peduli
7.   Kerjasama



                 Sumber : Desain Pendidikan Karakter (Zubaedi, 2011: 77)

      Menurut Thomas Lickona, komponen moral yang  baik (componen of good character)  dapat digambarkan  sebagai berikut;
Gambar 2:
Componen of Good Character


 















 









Sumber: Educating for Character, (Lickona, 1991:53)

Moral knowing atau pengetahuan moral terdiri dari enam unsur, yaitu: (1) moral awareness atau kesadaran moral, atau kesadaran hati nurani, ialah menggunakan intelegensi untuk melihat jika situasi meminta penilaian atau pertimbangan moral, dan kemudian untuk berpikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut. (2) knowing moral values (pengetahuan tentang nilai-nilai moral). Nilai moral tersebut antara lain, rasa hormat tentang kehidupan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) perspective-taking yaitu kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi seperti apa yang dilihat, membayangkan sebagaimana dia seharusnya berpikir, mereaksi dan merasakan. (4) moral reason atau pertimbangan-pertimbangan moral merupakan pengertian tentang apa dan dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) decision-making atau pengambilan keputusan adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. (6) self knowing adalah kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri, hal ini paling sulit untuk dicapai tetapi sangat diperlukan untuk pengembangan moral.
Komponen untuk pengembangan karakter yang kedua adalah moral feeling atau perasaan moral. Komponen ini terdiri dari enam unsur penting, yaitu: (1) consciense atau kata hati atau hati nurani, memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif adalah pengetahuan tentang apa yang benar, sisi emosi adalah perasaan wajib bertindak tantang kebenaran. (2) self-esteem atau harga diri. Jika kita mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri sendiri. Dengan demikian, kita akan mengurangi penyalahgunaan pikiran dan badan kita sendiri. Tugas sebagai pendidik adalah membantu anak- anak dan remaja untuk mengambangkan secara positif  harga diri atas nilai-nilai, seperti tanggung  jawab, kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan dan kemampuan mereka sendiri. (3) emphaty, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan atau seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, dan dilakukan untuk orang lain. (4) loving the good atau cinta kepada kebaikan. Bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik dengan kebaikan yang sejati.(5) self control, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal ini diperlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri. (6) humility atau kerendahan hati. Kerendahan hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri yang merupakan bagian terpenting dari karakter yang baik.
Komponen pembentuk karakter yang ketiga adalah moral action atau tindakan moral, yang terdiri dari tiga unsur penting, yaitu: (1) competence atau kompetensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif. Untuk memecahkan konflik secara terbuka dan jujur, dalam hal ini diperlukan keterampilan praktis, misalnya keterampilan mendengar, berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan bersama suatu masalah yang dapat diterima secara timbal balik. (2) will atau kemauan. Untuk menjadi baik, seringkali menuntut tindakan nyata dari kemauan, memobilisasi energi moral untuk bertindak secara baik dan benar, hal ini perlu dikembangkan. Oleh karena itu dalam pengembangan karakter positif harus diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktikan bagaimana menjadi orang yang baik. 
Dalam konsep pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, disebutkan keterpaduan antara empat nilai yang masing-masing melekat pada potensi dasar manusia, yaitu olah pikir, olah raga, olah rasa, dan olah karsa. Keterpaduan antara empat nilai di atas secara ringkas ditunjukan dalam gambar 3: berikut ini:
Gambar 3:
Keterpaduan Olah Pikir, Olah Raga, Olah Rasa dan Karsa

b)     Penilaian Pendidikan Karakter
Penilaian adalah kegiatan untuk menentukan pencapaian hasil belajar (Djemari Mardapi, 2011:189). Penilaian pendidikan karakter merupakan usaha untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai luhur yang telah dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, minimal yangterlihat di lingkungan sekolah.
Hasil pembelajaran dapat dikategorikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan perilaku. Setiap peserta didik memiliki tiga ranah tersebut, hanya kedalamannya tidak sama. Ada peserta didik yang memiliki keunggulan pada ranah kognitif, atau pengetahuan, dan ada yang memiliki keunggulan pada ranah perilaku atau keterampilan. Namun, keduanya harus dilandasi oleh ranah afektif yang baik. Pengetahuan yang dimiliki seseorang harus dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Demikian juga keterampilan yang dimiliki peserta didik juga harus dilandasi oleh afektif yang baik, yaitu dimanfaatkan untuk kebaikan orang lain.
Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus dari diri individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sosial pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia (Doni Koesoema, 2007: 281).
 Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang bisa berupa kuantitatif atau kualitatif. Data kuatitatif diperoleh melalui pengukuran atau pengamatan dan hasilnya berbentuk angka. Data kualitatif umumnya diperoleh melalui pengamatan. Untuk itu, diperlukan instrumen nontes, yaitu instrumen yang hasilnya tidak ada yang salah atau benar. Data kualitatif diperoleh dengan menggunakan instrumen berbentuk pedoman pengamatan.
Karakter tidak sekedar bagian dari ranah afektif, tapi juga merupakan bagian dari ranah kognitif dan juga perilaku. Menurut Andersen  (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri (self report). Penggunaan metode observasi berdasarkan bahwa asumsi bahwa karakteristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologis, atau keduanya. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri, (Darmiyati Zuchdi, 2011: 189).
Pengukuran karakteristik afektif  harus dapat menjelaskan ada dan tidaknya karakteristik afektif terhadap objek tertentu, beserta arah dan tubian atau intensitasnya (Anderson, 1980:4). Dua subjek  didik mungkin memiliki arah perasaan yang sama, tetapi berbeda tubiannya, dan sebaliknya. Dengan kata lain, kita harus melihat ada dan tidaknya efek dalam suatu kontinum atau berbentuk skala dari yang paling positif sampai yang paling negatif atau sebaliknya (Darmiyati Zuchdi, 2010: 100).
Paul Suparno (2002:90) mengungkapkan beberapa aspek tentang penilaian yaitu:
1.      Aspek Penilaian: ada tiga gejala yang termasuk aspek penilaian pendidikan karakter yaitu kelakuan, kerajinan, dan kerapian. Ketiga gejala tersebut dicantumkan dalam rapor siswa setiap akhir semester sebagai laporan kepada orang tua siswa. Deskripsi aspek yang dinilai disajikan pada tabel 3 berikut ini:
No
Nilai
Deskripsi Perilaku
1.
Religiusitas
Mampu berterima kasih dan bersyukur, menghormati, dan mencintai Tuhan YME yang diwujudkan dengan ibadah dan doa
2
Kejujuran
Menghindari sikap berbohong, mengakui kelebihan orang lain, mengakui kekurangan, kesalahan, atau keterbatasan diri sendiri, memilih cara-cara terpuji dalam menempuh ujian, tugas, atau kegiata lain.
3
Tanggung Jawab
Mengerjakan tugas-tugas dengan semestinya, menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain, tidak melemparkan persoalan  kepada orang lain, memahami dan menerima resiko atau akibat dari suatu tindakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
4
Hidup Bersama Orang Lain
Mampu bertoleransi dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, menghindari tindakan mau menang sendiri, memperbaiki diri lewat saran kritik orang lain.
5
Gender
Penghargaan terhadap perbedaan jenis kelamin, bertindak dan berpikir positif terhadap perempuan, selalu menghindari sikap yang meremehkan perempuan,menunjukkan apresiasi kepada tamu perempuan, guru, atau teman.
6
Keadilan
Menghindari dari sikap memihak, mempunyai penghargaan hak-hak orang lain dan mengedepankan kewajiban diri, tidak menang sendiri.
7
Demokrasi
Menghargai pendapat dan usaha orang lain, tidak menggap diri sendiri paling benar dalam setiap perbincangan, memamdang positif sikap orang lain dan menghindarkan berburuk sangka, bisa menerima pendapat orang lain.
8
Kemandirian
Mampu berinisiatif, bertanggung jawab pada diri sendiri secara konsekuen, tidak tergantung kepada orang lain, terbebaskan dari pengaruh ucapan atau perbuatan orang lain,
9
Daya Juang
Gigih dan percaya diri dalam mengerjakan setiap hal, menghindari tindakan sia-sia baik dalam belajar maupun kegiatan, optimal mewujudkan keinginnannya dan tidak mudah putus asa, tidak menempatkan sikap malas.
10
Penghargaan Terhadap Alam
Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah, menghindarkan diri dari tindakan corat-coret meja atau dinding kelas, memperhatikan sampah dan membuang pada tempatnya, serta menjaga tanaman yang ada di sekitar lingkungan.
Sumber: Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah- Suatu Tinjauan Umum (Paul Suparno, dkk. 2002: 90).


2.      Model penilaian
Ada dua model penilaian yakni penilaian kuantitatif dan penilaian kualitatif.
a.    Penilaian kuantitatif: penyajian hasil penelitian dengan menggunakan angka dan berpegang pada rentetan angka 1 (satu) sampai dengan 10 (sepuluh). Cara yang sering digunakan dalam kegiatan penilaian dan penyajian di rapor.
b.    Penilaian kualitaif: penilaian secara kualitatif dengan pernyataa verbal, misalnya  baik sekali, baik, sedang, kurang, atau kurang sama sekali. Rumusan penilaian akan mengungapkan hal-hal yang positif dari sebuah aspek perilaku, kemudian menunjukkan kekurangan dan upaya perbaikan yang mesti dilakukan.
3.      Penilai
Variabel atau aspek yang dinilai dalam pendidikan nilai berupa perilaku/sikap yang bersifat konkrit. Agar tidak jatuh ke dalam subjektivitas yang cenderung mengarah kepada penilaian suka/tidak suka terhadap siswa, penilai hendaknya terdiri dari unsur guru dan kepala sekolah.

4.      Instrumen Penilaian
Untuk memperoleh hasil penilaian pendidikan budi pekerti peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, seorang guru perlu menyiapkan instrumen penilaian. Instrumen penilaian dapat berupa lembar observasi, lembar skala sikap, lembar portofolio, lembar check list, dan lembar pedoman wawancara. Dalam melaksanakan penialaian budi pekerti pada peserta didik, guru dapat mencatat respon peserta didik terhadap kegiatan terprogram atau rutin dalam kegiatan belajar mengajar maupun perilaku siswa yang muncul sehari-hari di sekolah. Adapun penialian pencatatan perilaku harian dilakukan dengna cara mencatat perilaku peserta didik yang positif dan negatif pada saat itu muncul.

b)     Tujuan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation bertujuan membentuk manusia secara utuh (holistis) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosional, sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu Pendidikan karakter membentuk manusia yang life long learners ( pembelajar sejati) ( Zubaedi, 2011: 113).
Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin manusiawi ( Doni Koesoema, 2007: 134). Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik seperti guru, orang tua, staf sekolah, dan masyarakat diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan berupa kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya.
Tujuan pendidikan karakter dalam lingkup sekolah memiliki tujuan sebagai berikut:
1.      Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting da perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan;
2.      Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang di kembangkan oleh sekolah;
3.      Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.
(Dharma Kesuma, dkk: 2011:9)
Tujuan pendidikan karakter yang pertama adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa pendidikan dalam setting sekolah bukanlah suatu dogmatisasi nilai kepada peserta didik, tapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan merefleksikan bagaimana suatu nilai menjadi penting untukdiwujudkan dalam perilaku keseharian manusia. Termasuk bagi anak. Penguatan juga mengarahkan pada proses pembiasaan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses dan dampak dari proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam setting kelas maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di rumah.
Jadi asumsi yang terkandung dalam tujua pendidikan karakter yang pertama ini adalah bahwa penguasaan akademik diposisikan sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan pengembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai tujuan perantara untuk terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara kontekstual.
Tujuan pendidikan karakter yang kedua adalah mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengoreksian perilaku perlu dipahami sebagai proses yang pedagogis dalam pengoreksian bukan suatu pemaksaan atau pengkodisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam pengoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya.
Tujuan ketiga pendidikan karakter dalam setting sekolah adalah membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam emerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika saja pendidikan karakter di sekolah hanya bertumpu pada interaksi antara peserta didik dengan guru di kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan sangat sulit diwujudkan. Karenapenguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak (Dharma Kesuma: 2011:9-11).

c)      Peran Kehidupan Komunitas Sekolah Dalam Pembentukan Karakter
Sekolah mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten dari seluruh personalia pendidikan ( Zubaedi, 2011: 162).
Untuk meningkatkan peran sekolah dalam pembentukan karakter diperlukan berbagai perubahan. Perubahan yang diperlukan tidak hanya di sekolah, tetapi juga pada lingkungan/komunitas  yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan di sekolah. Perubahan yang diperlukan mencakup berbagai aspek, dari perubahan cara pandang. Meningkatan peran sekolah dalam pendidikan karakter memerlukan perubahan cara pandang atau mindset pada komunitas sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan tersebut mencakup cara pandang mengenai sekolah, mengenai siswa, dan mengenai kecerdasan.
Disadari atau tidak, masih banyak yang memandang atau memperlakukan sekolah sebagai sebuah pabrik. Para murid dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah dalam sebuah proses yang dilakukan “mesin-mesin” bernama guru yang bekerja menurut program produksi bernama kurikulum. Output pabrik ini adalah lulusan yang ukuran kualitasnya adalah nilai Ujian Nasional. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa di sekolah berkembang suasana belajar yang sangat mekanik, formal, birokratik, dan hanya berorientasi pada hasil (Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011:49-50) .
Jika sekolah hendak dijadikan lingkungan belajar yang memudahkan dan mendorong para siswa mengembangkan karakter, cara pandang behwa sekolah sebagai sebuah pabrik haruslah ditinggalkan. Cara pandang dan praktik yang perlu dikembangkan adalah sekolah sebagai komunitas atau lebih spesifik komunitas belajar. Dalam konsep komunitas belajar ini, murid bukanlah bahan baku, melainkan anggota komunitas yang memiliki peran dan tanggung jawab. Kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi termasuk anggota komunitas dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Dalam komunitas belajar, semua anggotanya terus menerus belajar tidak hanya siswa. Dalam komunitas, cita-cita bersama, rasa saling percaya, saling menghormati, dan kesediaan untuk berbagi menjadi sangat penting. Dalam sebuah komunitas terjadi banyak interaksi antara sesama anggota yang sifatnya informal dan tulus. Dalam komunitas yang sehat para anggotanya bahu-membahu untuk tumbuh dan berkembang bersama.
Salah satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa pihak adalah melihat siswa sebagai deretan gelas kosong yang harus diisi oleh para guru degan isi yang sama dan dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah. Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau keunggulan pun menjadi seragam.
Pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter tidak bisa didasarkan atas cara pandang gelas kosong tetapi dengan cara pandang bahwa para siswa adalah Bibit-bibit yang punya potensi keunggulan berbeda-beda. Mereka bukan bibit yang seregam atau sejenis. Fungsi sekolah adalah menjadi persemaian dan lahan yang memungkinkan bibit-bibit tersebut tumbuh subur serta memunculkan sebaik mungkin keunggulannya masing-masing.
Dalam kaitan dengan konsep kecerdasan majemuk (multiple intelegence), setiap siswa punya konfigurasi kecederungan sendiri yang mungkin sekali berbeda dengan siswa yang lain, dan konsekuensinya mungkin minatnya berbeda. Perbedaan ini hendaknya diterima sebagai realitas dan diusahakan agar perbedaan potensi kecerdasan ini berkembang sebaik mungkin dan dapat dijadikan basis keunggulan siswa yang bersangkutan.
Berikut ini adalah unsur-unsur dalam komunitas kehidupan sekolah yang dapat dijadikan langkah dalam pengembangan pendidikan karakter:

a.      Interaksi di Lingkungan Sekolah
Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang kondusif bagi pendidikan anak-anak. Lingkungan yang baik ini tidak mungkin dapat terwujud dengan sendirinya. Agar terbentuk lingkungan yang baik, memang harus diupayakan oleh semua pihak. Demikian pula dengan lingkungan bagi anak didik hendaknya bisa mendukung dalam upaya membangun pendidikan karakter yang baik. Apabila sang anak di rumah sudah mendapatkan pendampingan, bimbingan, pendidikan, dan teladan yang baik dari orang tuanya, demikian juga di sekolah,tetapi apabila di lingkungan anak didik justru bertentangan, pendidikan karakter juga tidak mudah untuk diwujudkan (Akhmad Muhaimin Azzel, 2011:56).
Interaksi di sekolah memberi peluang bagi semua anggota komunitas sekolah untuk mengembangkan dan menguatkan berbagai kebiasaan baik, seperti bertindak adil, rendah hati, santun, peduli, saling menghormati, saling menghargai, belajar berterima kasih, belajar berbagi, belajar berkontribusi, dan belajar berempati. Interaksi sosial juga dipakai sebagai forum untuk menyoroti permasalahan karakter yang berkembang di tengah-tengah masyarakat melalui interaksi yang sifatnya informal.
Interaksi positif yang terjadi di sekolah akan dapat menimbulkan suasana emosi yang positif pula,perasaan gembira, saling menghargai, saling saling mendukung- membuat pikiran lebih kreatif, terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, konstruktif, tidak defensif, dan meningkatkan kemampuan lateral. Seseorang akan melakukan sesuatu sebaik mungkin ketika perasaannya senang. Perasaan senang meningkatkan efisiensi mental, membuat orang lebih baik dalam memahami informasi dan membuat keputusan yang memerlukan pertimbangan rumit, serta lebih lentur dalam berpikir.
Penelitian menunjukkan bahwa perasaan gembira membuat seseorang melihat orang lain atau suatu  peristiwa dari sisi positif. Pada gilirannya hal itu akan membuat orang bersangkutan merasa lebih optimis mengenai kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan, meningkatkan kreatifitas, dan mengambil keputuan, serta membuatnya cenderung lebih suka menolong orang lain (Goleman, 2002: 14).
Penelitian lain menunjukkan bahwa para siswa akan mencapai hasil terbaik apabila guru:
1.       Memahami dan tanggap terhadap kebutuhan, perasaan, minat, dan kemampuan siswa.
2.      Menciptakan suasana atau iklim kelas yang gembira dengan percakapan yang menyenangkan serta suasana ceria penuh gelak tawa.
3.      Menunjukkan kehangatan dan pandangan positif terhadap siswa.                                                                                                                                               (Goleman, 2006:283)
Interaksi antara anggota komunitas sekolah ( kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa) dapat dijadikan arena oleh kepala sekolah untuk memberikan teladan secara informal kepada siswa melalui sikap, tindakan, dan perkataan. Interaksi dan pergaulan sosial yang mendekatkan secara emosional semua anggota komunitas membuat mereka merasa sebagai satu keluarga; sekolah akan dirasakan sebagai rumah kedua; siswa merasa aman, diperhatikan, dan dihargai.
Interaksi dan pergaulan sosial di sekolah memberikan peluang bagi semua anggota komunitas untuk mengembangkan dan menguatkan berbagai kebiasaan baik, seperti bertindak adil, rendah hati, santun, peduli, saling menghormati, saling menghargai, belajar berterima kasih, belajar berbagi, belajar berkontribusi, dan belajar berempati. Interaksi dan pergaulan sosial juga dapat dipakai sebagai forum untuk menyoroti kasus dan permasalahan karakter yang berkembang di tengah-tengah masyarakat melalui interaksi yang sifatnya informal (Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011: 56-57).

b.      Pengembangan Suasana Pembelajaran di Kelas
Dalam pendidikan karakter, siswa secara bersama-sama dapat mengambil tanggung jawab untuk mengembangkan kebiasan baik sebagai suatu kelompok, tidak hanya sendiri-sendiri. Caranya adalah dengan mengajak para siswa dalam suasana kelas untuk bersama-sama menentukan ciri-ciri kelas yang mereka banggakan.
Pada awal tahun ajaran, wali kelas mengundang atau meminta para siswa dari kelas yang dibinanya melakukan diskusi untuk menentukan dan menyepakati bersama ciri-ciri kelas mereka yang dapat membuat mereka bangga menjadi warga kelas tersebut. Ciri-ciri ini hendaknya dinyatakan dalam perilaku atau sifat-sifat baik dari warga kelas dan suasana kelas- biasanya lima sampai sepuluh ciri. Kesepakatan ini dicapai melalui diskusi kelompok dan kemudian diskusi kelas. Wali kelas dapat menambahkan satu atau dua ciri yang dianggapnya sangat penting yang tidak muncul dari hasil diskusi kelompok siswa.
Untuk menguatkan komitmen dalam mewujudkan kelas yang dibanggakan, wali kelas dan siswa menuliskan ciri-ciri kelas yang dibanggakan dan menandatanginya bersama. Dokumen yang sudah ditandatangani ini bersama ditempatkan di ruang kelas agar dapat terlihat oleh siswa dan guru setiap hari.
Secara periodik- sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu- wali wali kelas duduk bersama untuk melakukan penilaian seberapa jauh para siswa kelasnya berhasil mewujudkan ciri-ciri kelas yang dibanggakan dan mencermati bersama dalam hal apa kelas yang bersangkutan belum mencapai keberhasilan seperti yang diharapkan. Wali kelas memberikan apresiasi atau penghargaan kepada para siswa atas keberhasilan yang telah dicapai dan para siswa mencari cara-cara dan membuat komitmen baru untuk melakukan perbaikan apabila ada hal-hal yang dirasakan masih memerlukan perbaikan.

c.       Pengembangann Proses Pembelajaran Pada Mata Pelajaran
(1)   Pelajaran Sejarah Yang Kontekstual
Pelajaran Sejarah dapat dijadikan salah satu wahana untuk:
·      Meningkatkan kecintaan terhadap bangsa dan negara;
·      Membangun rasa tanggung jawab sosial sebagai warga negara yang baik;
·      Membangun kemampuan mengapresiasi kebhiekaan dan keindonesiaan.
Untuk mencapai sasaran di atas, para guru yang mengajarkan sejarah hendaknya dapat menyampaikan substansi pelajaran sejarah dengan menjelaskan konteks peristiwa yang terjadi, sehingga siswa dapat memahami suatu peristiwa dalam kaitannya dengan peristiwa atau keadaan lain yang berlangsung saat itu atau sebelumnya. Dalam pelajaran sejarah, guru dapat membantu dan mendorong siswa untuk mempelajari tokoh-tokoh yang berperan dalam suatu peristiwa sejarah, misalnya dengan meminta mereka secara berkelompok mempelajari biografi para pejuang kemerdekaan dan menceritakannya di depan kelas. Yang perlu dihindari adalah menyajikan pelajaran sejarah sebagai deretan tahun terjadinya peristiwa tanpa pemahaman apa yang terjadi, mengapa suatu peristiwa terjadi, dan bagaimana dampak peristiwa tersebut terhadap perkembangan selanjutnya. Untuk memperkaya pengalaman siswa dalam memahami perjalanan sejarah, para siswa dapat diajak mengunjungi tempat-tenpat bersejarah melalui lukisan, gambar, potret, film, atau mungkin juga kunjungan fisik apabila sekolah kebetulan berlokasi dekat dengan lokasi terjadinya peristiwa sejarah tersebut.
Pembelajaran seperti ini disebut juga pembelajaran kontekstual, dalam rangka mengubah setiap pelajaran menjadi wahana untuk mengembangkan karakter, bahan pelajaran perlu diperkaya dengan pengetahuan kontekstual. Pengetahuan kontekatual ini mencakup pengetahuan tentang latar belakang atau situasi atau lingkungan yang berkaitan dengan pengetahuan substansi tertentu, seperti latar belakang historik, sosial, ekonomik, atau kultural, atau kaitan antara pengetahuan substansial tertentu dengan pengetahuan lain.
Pengetahuan kontekstual akan membantu seorang siswa menghubungkan pengetahuan substansial dengan kehidupan nyata sehari-hari sehingga pendidikan menjadi dekat dan tidak terlepas dari kehidupan.
(2)   Pengayaan Pelajaran Bahasa
“Bahasa Menunjukkan Bangsa”; inilah ungkapan yang menunjukkan bahwa apa yang dikatakan seseorang serta cara mengatakan atau mengungkapkannya menunjukkan tinggi rendahnya “kualitas” orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, menumbuhkan kebiasaan memakai kata-kata baik dan mengungkapkannya dan mengatakannya dengan baik dapat menjadi salah satu cara untuk pendidikan karakter. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan pelajaran Bahasa sebagai wahana untuk pendidikan karakter:
·         Memperkenalkan para siswa pada berbagai kekuatan karakter melalui bacaan.
Hal ini dapat dilakukan guru dengan menugaskan para siswa menelaah tulisan-tulisan atau risalah yang padat dengan muatan karakter. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki kumpulan tulisan yang diharapkan dapat menggugah para siswa. Tulisan ini bisa berasal dari koran, majalah, atau bagian dari suatu buku. Siswa diminta membuat catatan tertulis mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam tulisan yang mereka baca. Kemudian kepada mereka diberikan kesempatan untuk mendiskusikan tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan tersebut, memilih tokoh-tokoh favorit mereka, dan menjelaskan alasan pemilihan itu. Bahan bacaan ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi baggi para siswa untuk mengembangkan kebajikan yang ada dalam diri mereka.
·         Meningkatkan kepercayaan diri siswa.
Hal ini dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat atau buah pikiran di depan teman-temannya, dalam hal ini termasuk kesempatan untuk menyusun naskah pidato dan berpidato di depan kelas. Siswa juga dianjurkan menyampaikan pendapat dan buah pikiran dengan bahsa yang baik.
·         Mengenali kata-kata atau ungkapan yang menunjukkan karakter baik dan mempraktikkannya.
Kata-kata atau kalimat merupakan perwujudan verbal dari tata nilai, niat, dan sikap. Ada kata-kata yang berkaitan dengan sopan santun, ada yang berkaitan dengan kerendahan hati, ada yang berkaitan dengan empati, berkaitan dengan rasa ingin tahu, rasa syukur, kegigihan, rasa percaya diri, keberanian, dan sebagainya. Melalui pelajaran Bahasa para siswa secara sistematik dibantu mengenali kata-kata dan ungkapan yang berkaitan dengan sikap atau sifat positif dan didorong untuk lebih sering memakai kata-kata dan ungkapan positif tersebut dalam pergaulan sehari-hari
·         Meningkatkan kreativitas dan kepekaan terhadap keindahan bahasa.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan kepada para siswa karya-karya sastra yang bermutu, termasuk pantun, sajak, dan puisi. Siswa juga diminta menulis pantun, sajak, atau tulisan lain yang bertemakan karakter.
·         Mengapresiasi usaha dan hasil karya siswa.
Dalam semua kegiatan yang dilakukan siswa, seorang guru hendaknya selalu siap memberikan apresiasi kepada para siswa ata usaha yang mereka lakukan dan atas karya yang mereka hasilkan. Untuk itu, seorang guru perlu memperhatikan para siswanya agar dapat melihat keunikan atau kelebihan seorang siswa, baik dalam kerjanya maupun hasil karyanya.

d.      Tema Karakter Mingguan
Suasana hubungan sosial muncul dari interaksi antara anggota komunitas-antara kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa- dan tema-tema percakapan diantara anggota komunitas. Sikap, perilaku, ucapan yang terjadi dalam pergaulan sosial sehari-hari diantara para anggota komunitas secara langsung memberi indikasi tentang karakter yang diharapkan berkembang pada warga komunitas (Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011:56). Dengan menetapkan tema karakter yang akan dijalankan pada periodesasi tertentu maka akan dapat melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Tema karakter mingguan dapat dibuat dengan kesepakatan bersama, sehingga dalam pelaksanaanya akan dapat bahu-membahu antara anggota komuntas yang terlibat di dalamnya.

e.       Buletin Berkala/ Majalah Dinding
Buletin berkala ataupun majalah dinding yang diterbitkan di sekolah-sekolah dapat menjadi media untuk menarik perhatian para siswa terhadap peran karakter dalam kehidupan dan memberikan inspirasi kepada siswa untuk mengembangkan karakter. Caranya adalah dengan menyediakan kolom khusus dalam setiap penerbitan untuk tema yang bertemakan karakter. Tulisan dalam kolom ini dapat berisi riwayat hidup singkat tentang orang-orang yang dalam hidupnya  menunjukkan kekuatan karakter atau kutipan dari buku-buku mengenai pengembangan diri.
Agar para siswa dapat termotivasi menulis tentang karakter, sekolah dapat menyelenggarakan sayembara atau festival mengenai penulisan karakter. Setelah diberikan apresiasi atau penghargaan, tulisan yang dibuat dimuat berturut-turut dalam buletin berkala ataupun majalah dinding.
Keberadaan buletin sekolah dann majalah seklah akan dapat menumbuhkan nillai karakter pada siswa antara lain Berpikir logis, kritis, kreatif,inovatif. Karakter ini dapat dikembangkan melalui pembuatan majalah dinding (Mading) yang bertema keselamatan kerja di laboratorium atau pelestarian lingkungan. Mading ini dapat memuat puisi, cerpen, puzzle, karikatur dan lain sebagainya.
Dengan adanya buletin sekolah, para siswa juga akan dilatih untuk memiliki sifat ingin tahu yang tinggi dan kritis, hal ini dikarenakan dalam peliputan berita atau info yang dimuat dalam penerbitan buletin/majalah sekolah akan melatih siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip seorang jurnalis, seperti kerja keras, tanggung jawab, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan kritis.
f.       Pertemuan Berkala
Selain para guru dan kepala sekolah, orang tua siswa pun perlu menambahkan pengetahuan mengenai pendidikan karakter. Untuk itu, kepala sekolah dapat menyelenggarakan pertemuan berkala dengan orang tua siswa dan membahas topik tertentu yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Selama ini sekolah menginformasikan kepada orang tua prestasi akademiknya saja. Dalam meningkatkan peran sekolah untuk pendidikan karakter, orang tua siswa juga perlu mendapatkan informasi mengenai prestasi putera-puteri mereka dan prestasi sekolah dalam pendidikan karakter.
Orang tua perlu mendapatkan informasi mengenai kebaikan yang telah dilakukan anak mereka di sekolah, kebiasaan baik baru yang berkembang, dan kebiasaan baik lain yang potensial bisa dikembangkan dalam diri anak mereka. Disamping itu, orang tua juga perlu diberitahu mengenai prestasi sekolah secara keseluruhan dalam bidang pendidikan karakter, seperti tingkat kedispinan siswa, tingkat kejujuran siswa, tingkat tanggung jawab siswa dalam menjaga lingkungan sekolah, kualitas sopan santun dalam pergaulan di sekolah, tingkat perilaku pro-sosial seperti kebiasaan saling menghormati dan saling menghargai.
Dalam penguatan dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah, setiap unsur dalam komunitas sekolah  harus memiliki persepsi yang sama terkait dengan pelaksanaan setiap program yang dijalankan. Untuk itulah diperlukan pertemuan berkala antara kepala sekolah, guru, peserta didik, orang tua siswa dan unsur-unsur komunitas sekolah lainnya mengenai kebiasaan baik yang hendak dikembangkan di sekolah. Pertemuan berkala dilakukan untuk menyusun suatu Pedoma perilaku yang akan dilaksanakan di sekolah.
Pedoman perilaku adalah sebuah dokumen yang memuat jenis kebiasaan baik yang hendak dikembangkan di sekolah dalam kegiatan dan interaksi sehari-hari, baik di dalam kelas, di luar kelas, maupun dalam interaksi warga sekolah dengan masyarak sekiranya.
Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk membangun komitmen untuk bersama-sama menjalankan kebiasaan baik tersebut dalam anggota komunitas sekolah sehari-hari, membangun suasana pergaulan di sekolah yang diwarnai kebajikan, melakukan penilaian secara periodik seberapa jauh sekolah berhasil mengembangkan kebiasaan baik dalam rangka pendidikan karakter di sekolah, dan melakukan usaha-usaha yang terarah dalam melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap pendidikan karakter di sekolah ( Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011: 121).
Dalam membangun komitmen melaksanakan pedoman perilaku di sekolah, beberapa langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan pedoman perilaku dilakukan bersama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah. Jadi, sejak awal pihak-pihak yang berkepentingan sudah terlibat dalam proses penyusunan pedoman perilaku. Inilah tahap pertama untuk belajar dan membangun komitmen bersama dalam menyusun dan melaksanakan pedoman perilaku.
2.      Kepala sekolah mengkomunikasikan dan menjelaskan pedoman perilaku tersebut kepada semua orangtua murid dan mengajak untuk bekerja sama agar para siswa dapat mengembangkan kebiasaan baik sesuai dengan pedoman perilaku, di sekolah maupun di rumah. Dalam forum komunikasi ini, kepala sekolah dapat mengajak orang tua siswa untuk menyatakan komitmen yang akan mereka berikan dalam membantu putera-puteri mereka agar lebih berhasil dalam mengembangkan kebiasaan baik.
3.      Wali kelas menjelaskan pedoman perilaku kepada siswa di kelas yang dibinanya, khususnya menyampaikan kepada siswa mengapa pedoman perilaku ini diperlukan, manfaat mengembangkan kebiasaan baik bagi siswa,dan mengajak serta menggugah para siswa untuk bersama-sama menjalankan pedoman perilaku di sekolah demi kebaikan bersama.
4.      Sekolah merumuskan cara-cara memantau pelaksanaan pedoman perilaku dalam kegiatan dan interaksi warga sekolah sehari-hari dan menugaskan satu tim yang terdiri atas guru-guru untuk melakukan pemantauan.
5.      Secara periodik- misalnya setiap bulan- semua anggota warga sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan pegawai adminstrasi, melakukan evaluasi seberapa jauh mereka berhasil menjalankan pedoman perilaku tersebut. Hasil evaluasi diri siswa dicermati dan ditanggapi oleh wali kelas dan disampaikan kepada orang tua siswa untuk diketahui.
6.      Secara periodik-misalnya setiap bulan- tim pemantau menyusun laporan hasil pemantauan pelaksanaan pedoman perilaku kepada kepala sekolah. Laporan tersebut disampaikan serta didiskusikan dalam suatu rapat dengan guru-guru dan komite sekolah. Rapat ini juga merumuskan langkah-langkah nyata untuk perbaikan apabila masihada kekurangan dalam pelaksanaan pedoman perilaku sekolah.
7.      Secara periodik-sekali dalam sabulan atau dua bulan- kepala sekolah menyampaiakan kemajuan sekolah dalam menjalankan prdoman perilaku sekolah kepada semua warga sekolah, misalnya kepada siswa dalam apel pagi. Dalam menyampaikan kemajuan tersebut, kepala sekolah dapat memberikan apresiasi kepada unsur-unsur warga sekolah yang sudah melakukan pedoman perilaku dengan baik atau melebihi harapan dan mengajak semua warga sekolah untuk berusaha mencapai hasil yang lebih baik lagi.
Setiap akhir tahun ajaran, sebelum tahun ajaran baru dimulai, kepala sekolah, guru-guru, dan komite sekolah melakukan pertemuan lagi untuk evaluasi terhadap pelaksanaan pedoman perilaku sebagai bagian dari evaluasi keberhasilan pendidikan karakter disekolah. Forum bersama ini dapat dipakai untuk meninjau kembali atau memperbaiki pedoman perilaku dan merancang hal-hal baru yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pendidikan karakter di sekolah (Zubaedi, 2011:122-124).
g.      Mendatangkan Tokoh Idola Siswa.
Dalam pendidikan Karakter, adanya tokoh idola bagi seorang siswa akan bisa membantu. Tokoh idola merupakan personifikasi sifat-sifat ideal yang dikagumi siswa bersangkutan. Sifat ideal itu bisa prestasi, kejujuran, keberanian, kreativitas, kegigihan, optimisme, kedermawanan, atau sifat lainnya. Tokoh idola dapat memberi inspirasi dan menumbuhkan motivasi bagi siswa untuk meneladani kebajikan yang ada pada tokoh idola tersebut. Sebab itu, memperkenalkan berbagai tokoh dalam berbagai bidang kehidupan kepada siswa menjadi sangat penting. Pengenalan tokoh ini dapat dilakukan melalui berbagai media: bahan bacaan, seperti buku, majalah, surat kabar, atau dengan langsung mendatangkan tokoh idola tersebut ke sekolah.
Dalam salah satu tulisannya mengenai pendidikan yang berjudul “Menjadi Guru di Masa Kebangunan”, Bung Karno memulai risalahnya dengan kutipan: “ Anda tidak bisa mengajarkan apa yang anda mau. Anda tidak bisa mengajarkan apa yang anda tahu. Anda hanya mengajarkan siapa anda” ( Soekarno, 1965: 611). Kata bijak ini sangat berlaku untuk pendidikan karakter. Orang tua, atau kepala sekolah, atau guru dapat membantu seorang anak atau siswa belajar mengembangkan karakter dengan memberi contoh teladan yang baik melalui perilaku, perkataan, dan sikap baik sehari-hari.seorang guru yang baik dapat menjadi tokoh panutan bagi siswa. Disamping menemukan panutan di sekolah,proses belajar yang dirancang kreatif juga dapat membantu siswa menemukan tokoh panutan di masyarakat, baik di masyarakat lokal maupun internasional. Memperkenalkan para siswa dengan tokoh-tokoh yang menunjukkan kekuatan karakter melalui berbagai kegiatan atau media akan sangat membanu para siswa menemukan panutan. Cara ini sering disebut cara tradisional dalam pendidikan karakter (Yayasan Jati diri Bangsa, 2011: 58-59).


BAB III
PENUTUP
Pembentukan pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama. Setiap pihak yang menginginkan terjadinya perubahan pada masyarakat bahkan lebih luas lagi pada lingkup negara dan dunia perlu membangun komitmen yang kuat untuk dapat mewujudkannya.
Sekolah dengan komunitasnya dapat mulai melakukan pembentukan dan penguatan pendidikan karakter bagi segenap unsur yang ada di dalamnya. Penetapan konsep yang jelas dan langkah-langkah praktis harus dipersiapkan dan dilaksanakan demi terwujudnya karakter yang unggul.









Daftar Pustaka

Akhmad Muhaimin Azzel.(2011). Urgensi pendidikan karakter di indonesia. Jakarta: Ar Ruzz Media.

Balitbang Kemendiknas. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Darma Kesuma, Cepi Triatna, Johar Permana.(2011) Pendidikan Karakter: Kajian teori dan praktik di sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Darmiyati Zuchdi. (2011). Pendidikan karakter dalam prespektif teori dan praktik. Yogyakarta: UNY Press

Dimyati. (2010). Peran guru sebagai model dalam pembelajaran karakter dan kebajikan moral melalui pendidikan jasmani. (Yogyakarta, UNY, mei 2010, Th. XXIX, edisi khusus dies natalis UNY).


Donie Koesoema. (2010). Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta. Grasindo

Elkind, David H. & Sweet, Freddy. (2004). How to do character education. Artikel. Diambil pada tanggal 17 Nopember 2011 dari: http://www.wilderdom.com/Character.html

Goleman, Daniel.(2002). New leaders. Little Brown.

Goleman, Daniel. (2006). Social Intelegence. Bantam Book.

Lickona, Thomas. (1991). Educating for character. How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.


Muchlas Samani dan Hariyanto. (2011). Konsep dan model pendidikan karakter. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Said Hamid Hasan, Abdul Aziz Wahab, Yoyok Mulyana, et al. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.

Soekarno. (1965). Mendjadi Goeroe Dimasa Kebangoenan: Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid Pertama. Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Tim Pakar Jati Diri Bangsa. (2011). Pendidikan karakter di sekolah: Dari gagasan  ke tindakan. Jakarta. Elex Media Komputindo.
Zubaedi. (2011). Desain pendidikan karakter: Konsepsi dan aplikasinya dalam lembaga pendidikan. Jakarta. Kencana.