Pendidikan Karakter
Senin, 19 Maret 2012
Kamis, 16 Februari 2012
Pembentukan Karakter Melalui Kehidupan Komunitas Sekolah
BAB I
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam
sejarah manusia. Orangtua, dengan berbagai cara sejak dulu sebelum ada lembaga
pendidikan formal yang bernama sekolah seperti sekarang, sudah berusaha
mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang baik menurut norma-norma yang
berlaku dalam budaya mereka.
Penguatan pendidikan
karakter dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral
yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak saat ini terjadi krisis
yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita
yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa
meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan
remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan mencontek, dan
penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan
milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga kini belum dapat
diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar
menyontek, kebiasaan bullying di
sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulakn cukup serius dan tidak dapat lagi
dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini teah menjurus
kepada tindakan kriminal (Dimyati, 2010: 48).
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan
bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku sekolah
ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia (Zubaedi,
2011: 2). Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang
tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya. Banyak orang
berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan
oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran
cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang
mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan nyata yang
kontradiktif. Pendidikanlah yang barangkali paling besar memberikan kontribusi
terhadap situasi ini.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu
penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada
pengembangan intelektual kognitif semata, sedangkan aspek softskill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter
belum diperhatikan secara optimal bahkan jika boleh dikatakan cenderung
diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih
menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN),
sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan (Zubaedi: 2011: 3).
Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka Ujian Nasional (UN)
adalah sebuah kemunduran. Karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi
sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan.paradigma
ini menempatkan peserta didik sakan berhentiebagai elajar imitatifdan belajar
dari ekspose-ekspose didaktis yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip,
dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang
digariskan dalam UU Sisdiknas (Dharma Kesuma,dkk: 2011:9).
Bagi orangtua, sekolah diharapkan menjadi salah satu
tempat atau lingkungan yang dapat membantu anak mengembangkan karakter yang
baik. Albert Einsten menekankan “agar siswa mendapat pemahaman dan penghayatan
yang dalam terhadap tata nilai, dia harus mengembangkan kepekaan yang tinggi
terhadap keindahan dan moralitas. Jika tidak, dia dengan pengetahuannya yang
sangat khusus akan lebih menyerupai anjing yang terlatih daripada orang yang telah
tumbuh dan berkembang secara harmonis”. Hal senada juga ditegaskan oleh Slamet
Iman Santoso, yang menyatakan bahwa “pembinaan watak adalah tugas utama
pendidikan”.
b. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah
ini bertujuan untuk menganalisis peran kehidupan komunitas sekolah dalam
pembentukan karakter melalui:
1.
Peran interaksi di lingkungan sekolah
2.
Pengembangan Pembelajaran Kontekstual di
Kelas
3.
Pengembangann Proses Pembelajaran Pada
Mata Pelajaran
4.
Tema karakter mingguan
5.
Buletin berkala
6.
Pertemuan berkala
7.
Mendatangkan tokoh idola siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Karakter
a) Pengertian Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata pendidikan berasal dari bahasa latin educare, yang memiliki konotasi melatih
atau menjinakan, menyuburkan, dan educare
yang bisa pula berarti suatu kegiatan untuk menarik keluar atau membawa keluar.
Jadi pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan,
mengembangkan, mendewasakan, membuat teratur, dan pembimbingan (Doni Koesoema,
2010:53).
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi
peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam
mempersiapkan generasi mudanya bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan ini ditandai oleh
pewarisan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu,
pendidikan adalah proses pewarisan karakter bangsa untuk meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang (Said Hamid Hassan,dkk. 2010:4).
Istilah karakter sendiri menimbulkan ambiguitas. Karakter secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”,
yang artinya “cetak biru”, “format dasar”, “sidik” seperti sidik jari.
Tentang ambiguitas terminologi “karakter” ini, Mounier (Doni Koesoema, 2007:90) melihat karakter
sebagai dua hal utama, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah
diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan
dalam diri kita. Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan
melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang
demikian disebut sebagai proses yang dikehendaki (willed).
Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa
yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan
unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita
juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur
somatoppsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Disini istilah karakter
dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri” atau
karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa
kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir
(Sjarkawi dalam Donie Koesoema, 2007: 79-80).
Said hamid Hasan,dkk dalam naskah akademik pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa Kementerian Pendidikan Nasional (2010:3) merumuskan
karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada oranglain. Interaksi seseorang dengan oranglain dapat menumbuhkan
karakter individu tersebut.
Lickona (1991: 21) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat
alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan
dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya.
Pengertian pendidikan karakter selalu mengacu pada bagaimana pribadi
yang baik, memperlihatkan kualitas perseorangan yang dapat melihat dengan
pertimbangan kondisi sosial untuk mendapatkan karakter dan mengembangkan
pribadi yang berkualitas sering kali dengan meninjau tujuan dari pendidikan,
rasa melalui penekanan pada kualitas (nilai-nilai positif) seperti jujur, rasa
hormat, dan bertanggung jawab.
Dalam Grand Desain Pendidikan
Karakter, pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan
nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah), lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat. Nilai-nilai luhur ini berasal dari teori
pendidikan, psikologi pendidikan, dan nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama,
Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, serta pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur ini juga
perlu didukung oleh komitmen dan kebijakan pemangku kepentingan serta
pihak-pihak terkait lainnya termasuk dukungan sarana dan prasarana yang
diperlukan (Zubaedi, 2011: 17).
Pendidikan karakter secara akademik dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberkan keputusan baik- buruk,
memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 2).
Lickona (Elkind & Sweet,
2004:1) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai:
“character education is the deliberate effort
to help people understand, care about, and act upon ethical values. When we
think about the kind of character we want for our children, it is clear that we
want them to be able to judge what is right, care deeply about that is right,
and then do what they believe to be right. Even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
karakter adalah merupakan suatu proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membentuk kepribadian seseorang yang merupakan karakter atau ciri
khas dari orang tersebut. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan
sistematis, sehingga terbentuk kepribadian yang digunakan sebagai landasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Karakter berkaitan dengan personalitas walaupun ada perbedaannya.
Personalitas merupakan trait bawaan
sejak lahir, sedang karakter merupakan perilaku hasil pembelajaran. Seseorang
lahir dengan trait personality
tertentu, seseorang ada yang pemalu dan ada yang terbuka dan mudah bicara.
Klasifikasi lain adalah apakah seseorang berorientasi pada tugas atau kegiatan
sosial. Hal ini yang menjadikan seseorang memiliki sifat ingin menguasai, ingin
mempengaruhi, personaliti stabil atau patuh.
Karakter pada dasarnya diperoleh lewat interaksi dengan orangtua, guru,
teman, dan lingkungan. Karakter diperoleh dari hasil pembelajaran secara
langsung atau pengamatan terhadap orang lain. Pembelajaran langsung dapat
berupa ceramah dan diskusi tentang karakter, sedang pengamatan diperoleh
melalui pengamatan sehari-hari apa yang dilihat di lingkungan termasuk media
televisi. Karakter berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan
predisposisi terhadap suatu objek atau gejala, yaitu positif atau negatif.
Nilai berkaitan dengan baik dan buruk yang berkaitan dengan keyakinan individu.
Jadi keyakinan dibentuk melalui pengalaman sehari-hari, apa yang dilihat dan
apa yang didengar terutama dari seseorang yang menjadi acuan atau idola
seseorang (Darmiyati Zuchdi, 2011:
185-186).
a)
Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Satuan
pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan
nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini
merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk
selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat
Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara
lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam
rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi
18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5)
kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa Ingin Tahu,
(10) semangat Kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13)
bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, & (18) tanggung jawab. Nilai-nilai karakter
tersebut dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel
1:
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa
No
|
Nilai
|
Deskripsi
|
1
|
Religius
|
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain.
|
2
|
Jujur
|
Perilaku yang dilaksanakan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
|
3
|
Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
|
4
|
Disiplin
|
Tindakan yang menunjukan perilaku tertiib
dan patuh pada ketentuan dan aturan.
|
5
|
Kerja Keras
|
Perilaku yang menunjukan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6
|
Kreatif
|
Berfikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
|
7
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8
|
Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9
|
Rasa Ingin Tahu
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
|
10
|
Semangat Kebangsaan
|
Cara berfikir, bertindak, dan berwawasa
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
|
11
|
Cinta Tanah Air
|
Car berfikir, bertindak, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepeduliaan, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12
|
Menghargai Prestasi
|
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat, dan mengakui serta
menghormati keberhasilan orang lain.
|
13
|
Bersahabat/ Komunikatif
|
Tindakan yang memperhatikan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
|
14
|
Cinta Damai
|
Sikap, perkataan, dan tndakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
|
15
|
Gemar Membaca
|
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikanbagi dirinya.
|
16
|
Peduli Lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengambangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
|
17
|
Peduli Sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
18
|
Tanggung Jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa.
|
Sumber:
Kementerian Pendidikan Nasional, Pengembangan dan Pendidikan Budaya &
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, 2009:9-10)
Meskipun
telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan
dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai
prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18
nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih
tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang
lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan
masing-masing. Diantara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya
dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan
sesuai dengan kondisi masing-masing.
Rumusan
nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan karakter ini memiliki sedikit persamaan dengan rumusan
karakter dasar yang berkembang di negara lain, serta karakter dasar yang
dikembangkan oleh Ari Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbedaan ini dapat
dilihat pada tabel 2:
Tabel 2:
Karakter Dasar Pendidikan Karakter
KARAKTER
DASAR
|
||
Heritage Foundation
|
Character Counts
(USA)
|
ESQ – Ary Ginanjar
|
1.
Cinta kepada
Allah dan beserta isinya;
2.
Tanggung jawab,
disiplin, dan mandiri;
3.
Jujur;
4.
Hormat dan
santun;
5.
Kasih sayang,
peduli, dan kerja sama;
6.
Percaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah;
7.
Keadilan dan
kepemimpinan;
8.
Baik dan rendah
hati;
9.
Toleransi, cinta
damai, dan persatuan
|
1.
Dapat dipercaya ( truswonrthiness)
2.
Rasa hormat dan
perhatian (respect)
3.
Peduli (caring)
4.
jujur (fairness)
5.
Tanggung jawab (responsibility)
6.
Kewarganegaraan (citizenship)
7.
Ketulusan (honesty)
8.
Berani (courage)
9.
Tekun ( diligence)
10. Integritas
|
1.
Jujur
2.
Tanggung jawab
3.
Disiplin
4.
Visioner
5.
Adil
6.
Peduli
7.
Kerjasama
|
Sumber
: Desain Pendidikan Karakter (Zubaedi, 2011: 77)
Menurut Thomas Lickona,
komponen moral yang baik (componen of good character) dapat digambarkan sebagai berikut;
Gambar 2:
Componen of Good
Character
![]() |
![]() |
Sumber: Educating
for Character, (Lickona, 1991:53)
Moral knowing atau pengetahuan moral terdiri dari enam
unsur, yaitu: (1) moral awareness atau
kesadaran moral, atau kesadaran hati nurani, ialah menggunakan intelegensi
untuk melihat jika situasi meminta penilaian atau pertimbangan moral, dan
kemudian untuk berpikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku
tersebut. (2) knowing moral values
(pengetahuan tentang nilai-nilai moral). Nilai moral tersebut antara lain, rasa
hormat tentang kehidupan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran,
keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan,
perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) perspective-taking
yaitu kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi
seperti apa yang dilihat, membayangkan sebagaimana dia seharusnya berpikir,
mereaksi dan merasakan. (4) moral reason
atau pertimbangan-pertimbangan moral merupakan pengertian tentang apa dan
dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) decision-making atau pengambilan
keputusan adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah
moral. (6) self knowing adalah
kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri, hal ini paling sulit untuk
dicapai tetapi sangat diperlukan untuk pengembangan moral.
Komponen
untuk pengembangan karakter yang kedua adalah moral feeling atau perasaan moral. Komponen ini terdiri dari enam
unsur penting, yaitu: (1) consciense
atau kata hati atau hati nurani, memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif adalah
pengetahuan tentang apa yang benar, sisi emosi adalah perasaan wajib bertindak
tantang kebenaran. (2) self-esteem
atau harga diri. Jika kita mengukur harga diri kita sendiri berarti kita
menilai diri sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa
hormat terhadap diri sendiri. Dengan demikian, kita akan mengurangi
penyalahgunaan pikiran dan badan kita sendiri. Tugas sebagai pendidik adalah
membantu anak- anak dan remaja untuk mengambangkan secara positif harga diri atas nilai-nilai, seperti
tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan
atas dasar keyakinan dan kemampuan mereka sendiri. (3) emphaty, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan atau
seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami orang lain, dan dilakukan untuk
orang lain. (4) loving the good atau
cinta kepada kebaikan. Bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi
tertarik dengan kebaikan yang sejati.(5) self
control, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal ini
diperlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri. (6) humility atau kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri
sendiri yang merupakan bagian terpenting dari karakter yang baik.
Komponen
pembentuk karakter yang ketiga adalah moral
action atau tindakan moral, yang terdiri dari tiga unsur penting, yaitu:
(1) competence atau kompetensi moral,
adalah kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dan perasaan
dalam perilaku moral yang efektif. Untuk memecahkan konflik secara terbuka dan
jujur, dalam hal ini diperlukan keterampilan praktis, misalnya keterampilan
mendengar, berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan bersama suatu masalah
yang dapat diterima secara timbal balik. (2) will atau kemauan. Untuk menjadi baik, seringkali menuntut tindakan
nyata dari kemauan, memobilisasi energi moral untuk bertindak secara baik dan
benar, hal ini perlu dikembangkan. Oleh karena itu dalam pengembangan karakter
positif harus diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktikan bagaimana menjadi orang yang
baik.
Dalam
konsep pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional, disebutkan keterpaduan antara empat nilai yang masing-masing melekat
pada potensi dasar manusia, yaitu olah pikir, olah raga, olah rasa, dan olah
karsa. Keterpaduan antara empat nilai di atas secara ringkas ditunjukan dalam
gambar 3: berikut ini:
Gambar 3:
Keterpaduan Olah Pikir, Olah Raga, Olah Rasa
dan Karsa
![](file:///C:/Users/vita/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
b)
Penilaian Pendidikan Karakter
Penilaian adalah kegiatan untuk menentukan
pencapaian hasil belajar (Djemari Mardapi, 2011:189). Penilaian pendidikan
karakter merupakan usaha untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai luhur yang
telah dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, minimal
yangterlihat di lingkungan sekolah.
Hasil pembelajaran dapat dikategorikan
menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan perilaku. Setiap peserta
didik memiliki tiga ranah tersebut, hanya kedalamannya tidak sama. Ada peserta
didik yang memiliki keunggulan pada ranah kognitif, atau pengetahuan, dan ada
yang memiliki keunggulan pada ranah perilaku atau keterampilan. Namun, keduanya
harus dilandasi oleh ranah afektif yang baik. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang harus dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Demikian juga
keterampilan yang dimiliki peserta didik juga harus dilandasi oleh afektif yang
baik, yaitu dimanfaatkan untuk kebaikan orang lain.
Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya
adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus dari diri
individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain
dalam sebuah lingkungan sosial pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia
(Doni Koesoema, 2007: 281).
Penilaian pada ranah afektif, seperti pada
ranah lainnya memerlukan data yang bisa berupa kuantitatif atau kualitatif.
Data kuatitatif diperoleh melalui pengukuran atau pengamatan dan hasilnya
berbentuk angka. Data kualitatif umumnya diperoleh melalui pengamatan. Untuk
itu, diperlukan instrumen nontes, yaitu instrumen yang hasilnya tidak ada yang
salah atau benar. Data kualitatif diperoleh dengan menggunakan instrumen
berbentuk pedoman pengamatan.
Karakter tidak sekedar bagian dari ranah
afektif, tapi juga merupakan bagian dari ranah kognitif dan juga perilaku.
Menurut Andersen (1980) ada dua metode
yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan
metode laporan diri (self report).
Penggunaan metode observasi berdasarkan bahwa asumsi bahwa karakteristik
afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi
psikologis, atau keduanya. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui
keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut
kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri, (Darmiyati
Zuchdi, 2011: 189).
Pengukuran
karakteristik afektif harus dapat
menjelaskan ada dan tidaknya karakteristik afektif terhadap objek tertentu,
beserta arah dan tubian atau intensitasnya (Anderson, 1980:4). Dua subjek didik mungkin memiliki arah perasaan yang
sama, tetapi berbeda tubiannya, dan sebaliknya. Dengan kata lain, kita harus
melihat ada dan tidaknya efek dalam suatu kontinum atau berbentuk skala dari
yang paling positif sampai yang paling negatif atau sebaliknya (Darmiyati
Zuchdi, 2010: 100).
Paul
Suparno (2002:90) mengungkapkan beberapa aspek tentang penilaian yaitu:
1. Aspek Penilaian: ada tiga gejala yang
termasuk aspek penilaian pendidikan karakter yaitu kelakuan, kerajinan, dan
kerapian. Ketiga gejala tersebut dicantumkan dalam rapor siswa setiap akhir
semester sebagai laporan kepada orang tua siswa. Deskripsi aspek yang dinilai
disajikan pada tabel 3 berikut ini:
No
|
Nilai
|
Deskripsi Perilaku
|
1.
|
Religiusitas
|
Mampu berterima kasih dan bersyukur, menghormati, dan
mencintai Tuhan YME yang diwujudkan dengan ibadah dan doa
|
2
|
Kejujuran
|
Menghindari sikap berbohong, mengakui kelebihan orang
lain, mengakui kekurangan, kesalahan, atau keterbatasan diri sendiri, memilih
cara-cara terpuji dalam menempuh ujian, tugas, atau kegiata lain.
|
3
|
Tanggung Jawab
|
Mengerjakan tugas-tugas dengan semestinya,
menghindarkan diri dari sikap menyalahkan orang lain, tidak melemparkan
persoalan kepada orang lain, memahami
dan menerima resiko atau akibat dari suatu tindakan baik bagi diri sendiri
maupun orang lain.
|
4
|
Hidup Bersama Orang Lain
|
Mampu bertoleransi dalam setiap kegiatan
kemasyarakatan, menghindari tindakan mau menang sendiri, memperbaiki diri
lewat saran kritik orang lain.
|
5
|
Gender
|
Penghargaan terhadap perbedaan jenis kelamin, bertindak
dan berpikir positif terhadap perempuan, selalu menghindari sikap yang
meremehkan perempuan,menunjukkan apresiasi kepada tamu perempuan, guru, atau
teman.
|
6
|
Keadilan
|
Menghindari dari sikap memihak, mempunyai penghargaan
hak-hak orang lain dan mengedepankan kewajiban diri, tidak menang sendiri.
|
7
|
Demokrasi
|
Menghargai pendapat dan usaha orang lain, tidak menggap
diri sendiri paling benar dalam setiap perbincangan, memamdang positif sikap
orang lain dan menghindarkan berburuk sangka, bisa menerima pendapat orang
lain.
|
8
|
Kemandirian
|
Mampu berinisiatif, bertanggung jawab pada diri sendiri
secara konsekuen, tidak tergantung kepada orang lain, terbebaskan dari
pengaruh ucapan atau perbuatan orang lain,
|
9
|
Daya Juang
|
Gigih dan percaya diri dalam mengerjakan setiap hal,
menghindari tindakan sia-sia baik dalam belajar maupun kegiatan, optimal
mewujudkan keinginnannya dan tidak mudah putus asa, tidak menempatkan sikap
malas.
|
10
|
Penghargaan Terhadap Alam
|
Menjaga kebersihan kelas dan lingkungan sekolah,
menghindarkan diri dari tindakan corat-coret meja atau dinding kelas,
memperhatikan sampah dan membuang pada tempatnya, serta menjaga tanaman yang
ada di sekitar lingkungan.
|
Sumber:
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah- Suatu Tinjauan Umum (Paul Suparno, dkk.
2002: 90).
2. Model penilaian
Ada dua model penilaian yakni penilaian
kuantitatif dan penilaian kualitatif.
a. Penilaian kuantitatif: penyajian hasil
penelitian dengan menggunakan angka dan berpegang pada rentetan angka 1 (satu)
sampai dengan 10 (sepuluh). Cara yang sering digunakan dalam kegiatan penilaian
dan penyajian di rapor.
b. Penilaian kualitaif: penilaian secara
kualitatif dengan pernyataa verbal, misalnya
baik sekali, baik, sedang, kurang, atau kurang sama sekali. Rumusan
penilaian akan mengungapkan hal-hal yang positif dari sebuah aspek perilaku,
kemudian menunjukkan kekurangan dan upaya perbaikan yang mesti dilakukan.
3. Penilai
Variabel atau aspek yang dinilai dalam
pendidikan nilai berupa perilaku/sikap yang bersifat konkrit. Agar tidak jatuh
ke dalam subjektivitas yang cenderung mengarah kepada penilaian suka/tidak suka
terhadap siswa, penilai hendaknya terdiri dari unsur guru dan kepala sekolah.
4. Instrumen Penilaian
Untuk memperoleh hasil penilaian pendidikan
budi pekerti peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, seorang guru perlu
menyiapkan instrumen penilaian. Instrumen penilaian dapat berupa lembar
observasi, lembar skala sikap, lembar portofolio, lembar check list, dan lembar pedoman wawancara. Dalam melaksanakan
penialaian budi pekerti pada peserta didik, guru dapat mencatat respon peserta
didik terhadap kegiatan terprogram atau rutin dalam kegiatan belajar mengajar
maupun perilaku siswa yang muncul sehari-hari di sekolah. Adapun penialian
pencatatan perilaku harian dilakukan dengna cara mencatat perilaku peserta
didik yang positif dan negatif pada saat itu muncul.
b)
Tujuan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation bertujuan membentuk
manusia secara utuh (holistis) yang
berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosional, sosial, kreativitas,
spiritual, dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu Pendidikan karakter
membentuk manusia yang life long learners
( pembelajar sejati) ( Zubaedi, 2011: 113).
Tujuan pendidikan karakter semestinya
diletakkan dalam kerangka dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas
impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk
dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam
dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin manusiawi ( Doni
Koesoema, 2007: 134). Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka
dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik
seperti guru, orang tua, staf sekolah, dan masyarakat diharapkan semakin dapat
menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman
perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur
keteladanan bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif
bagi proses pertumbuhan berupa kenyamanan, keamanan yang membantu suasana
pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya.
Tujuan pendidikan karakter dalam lingkup
sekolah memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai
kehidupan yang dianggap penting da perlu sehingga menjadi
kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang
dikembangkan;
2. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak
bersesuaian dengan nilai-nilai yang di kembangkan oleh sekolah;
3. Membangun koneksi yang harmoni dengan
keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter
secara bersama.
(Dharma Kesuma, dkk: 2011:9)
Tujuan pendidikan karakter yang pertama
adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga
terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses
sekolah (setelah lulus dari sekolah). Penguatan dan pengembangan memiliki makna
bahwa pendidikan dalam setting sekolah bukanlah suatu dogmatisasi nilai kepada
peserta didik, tapi sebuah proses yang membawa peserta didik untuk memahami dan
merefleksikan bagaimana suatu nilai menjadi penting untukdiwujudkan dalam
perilaku keseharian manusia. Termasuk bagi anak. Penguatan juga mengarahkan
pada proses pembiasaan yang disertai oleh logika dan refleksi terhadap proses
dan dampak dari proses pembiasaan yang dilakukan oleh sekolah baik dalam
setting kelas maupun sekolah. Penguatan pun memiliki makna adanya hubungan
antara penguatan perilaku melalui pembiasaan di sekolah dengan pembiasaan di
rumah.
Jadi asumsi yang terkandung dalam tujua
pendidikan karakter yang pertama ini adalah bahwa penguasaan akademik
diposisikan sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan
pengembangan karakter. Atau dengan kata lain sebagai tujuan perantara untuk
terwujudnya suatu karakter. Hal ini berimplikasi bahwa proses pendidikan harus
dilakukan secara kontekstual.
Tujuan pendidikan karakter yang kedua adalah
mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai
yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan
karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif
menjadi positif. Proses pelurusan yang dimaknai sebagai pengoreksian perilaku
perlu dipahami sebagai proses yang pedagogis dalam pengoreksian bukan suatu
pemaksaan atau pengkodisian yang tidak mendidik. Proses pedagogis dalam
pengoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir anak, kemudian
dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah, dan proses
pembiasaan berdasarkan tingkat dan jenjang sekolahnya.
Tujuan ketiga pendidikan karakter dalam
setting sekolah adalah membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan
masyarakat dalam emerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.
Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus
dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga. Jika saja pendidikan karakter
di sekolah hanya bertumpu pada interaksi antara peserta didik dengan guru di
kelas dan sekolah, maka pencapaian berbagai karakter yang diharapkan akan
sangat sulit diwujudkan. Karenapenguatan perilaku merupakan suatu hal yang
menyeluruh (holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki
oleh anak (Dharma Kesuma: 2011:9-11).
c) Peran Kehidupan Komunitas Sekolah
Dalam Pembentukan Karakter
Sekolah
mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter.
Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang
cukup dan konsisten dari seluruh personalia pendidikan ( Zubaedi, 2011: 162).
Untuk
meningkatkan peran sekolah dalam pembentukan karakter diperlukan berbagai
perubahan. Perubahan yang diperlukan tidak hanya di sekolah, tetapi juga pada
lingkungan/komunitas yang mempengaruhi
proses dan hasil pendidikan di sekolah. Perubahan yang diperlukan mencakup
berbagai aspek, dari perubahan cara pandang. Meningkatan peran sekolah dalam
pendidikan karakter memerlukan perubahan cara pandang atau mindset pada
komunitas sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan tersebut
mencakup cara pandang mengenai sekolah, mengenai siswa, dan mengenai
kecerdasan.
Disadari
atau tidak, masih banyak yang memandang atau memperlakukan sekolah sebagai
sebuah pabrik. Para murid dipandang sebagai bahan baku atau input yang diolah
dalam sebuah proses yang dilakukan “mesin-mesin” bernama guru yang bekerja
menurut program produksi bernama kurikulum. Output pabrik ini adalah lulusan
yang ukuran kualitasnya adalah nilai Ujian Nasional. Cara pandang seperti
inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa di sekolah berkembang suasana
belajar yang sangat mekanik, formal, birokratik, dan hanya berorientasi pada
hasil (Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011:49-50) .
Jika
sekolah hendak dijadikan lingkungan belajar yang memudahkan dan mendorong para
siswa mengembangkan karakter, cara pandang behwa sekolah sebagai sebuah pabrik
haruslah ditinggalkan. Cara pandang dan praktik yang perlu dikembangkan adalah
sekolah sebagai komunitas atau lebih spesifik komunitas belajar. Dalam konsep
komunitas belajar ini, murid bukanlah bahan baku, melainkan anggota komunitas yang
memiliki peran dan tanggung jawab. Kepala sekolah, guru, dan tenaga
administrasi termasuk anggota komunitas dengan peran dan tanggung jawab
masing-masing. Dalam komunitas belajar, semua anggotanya terus menerus belajar
tidak hanya siswa. Dalam komunitas, cita-cita bersama, rasa saling percaya,
saling menghormati, dan kesediaan untuk berbagi menjadi sangat penting. Dalam
sebuah komunitas terjadi banyak interaksi antara sesama anggota yang sifatnya
informal dan tulus. Dalam komunitas yang sehat para anggotanya bahu-membahu
untuk tumbuh dan berkembang bersama.
Salah
satu cara pandang yang juga dipegang oleh beberapa pihak adalah melihat siswa
sebagai deretan gelas kosong yang harus diisi oleh para guru degan isi yang
sama dan dengan cara yang sama pula. Cara pandang seperti inilah yang menjadi
salah satu alasan timbulnya kecenderungan untuk penyeragaman di sekolah.
Keseragaman menjadi sebuah dogma baru, dan toleransi terhadap perbedaan makin
lama makin menyempit. Bahkan ukuran keberhasilan atau keunggulan pun menjadi
seragam.
Pendidikan
yang berorientasi pada pengembangan karakter tidak bisa didasarkan atas cara
pandang gelas kosong tetapi dengan cara pandang bahwa para siswa adalah Bibit-bibit yang punya potensi
keunggulan berbeda-beda. Mereka bukan bibit yang seregam atau sejenis. Fungsi
sekolah adalah menjadi persemaian dan lahan yang memungkinkan bibit-bibit
tersebut tumbuh subur serta memunculkan sebaik mungkin keunggulannya
masing-masing.
Dalam
kaitan dengan konsep kecerdasan majemuk (multiple
intelegence), setiap siswa punya konfigurasi kecederungan sendiri yang
mungkin sekali berbeda dengan siswa yang lain, dan konsekuensinya mungkin
minatnya berbeda. Perbedaan ini hendaknya diterima sebagai realitas dan
diusahakan agar perbedaan potensi kecerdasan ini berkembang sebaik mungkin dan
dapat dijadikan basis keunggulan siswa yang bersangkutan.
Berikut
ini adalah unsur-unsur dalam komunitas kehidupan sekolah yang dapat dijadikan
langkah dalam pengembangan pendidikan karakter:
a. Interaksi di Lingkungan Sekolah
Lingkungan
yang baik adalah lingkungan yang kondusif bagi pendidikan anak-anak. Lingkungan
yang baik ini tidak mungkin dapat terwujud dengan sendirinya. Agar terbentuk
lingkungan yang baik, memang harus diupayakan oleh semua pihak. Demikian pula
dengan lingkungan bagi anak didik hendaknya bisa mendukung dalam upaya
membangun pendidikan karakter yang baik. Apabila sang anak di rumah sudah
mendapatkan pendampingan, bimbingan, pendidikan, dan teladan yang baik dari
orang tuanya, demikian juga di sekolah,tetapi apabila di lingkungan anak didik
justru bertentangan, pendidikan karakter juga tidak mudah untuk diwujudkan
(Akhmad Muhaimin Azzel, 2011:56).
Interaksi
di sekolah memberi peluang bagi semua anggota komunitas sekolah untuk mengembangkan
dan menguatkan berbagai kebiasaan baik, seperti bertindak adil, rendah hati,
santun, peduli, saling menghormati, saling menghargai, belajar berterima kasih,
belajar berbagi, belajar berkontribusi, dan belajar berempati. Interaksi sosial
juga dipakai sebagai forum untuk menyoroti permasalahan karakter yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat melalui interaksi yang sifatnya
informal.
Interaksi
positif yang terjadi di sekolah akan dapat menimbulkan suasana emosi yang
positif pula,perasaan gembira, saling menghargai, saling saling mendukung-
membuat pikiran lebih kreatif, terbuka terhadap gagasan-gagasan baru,
konstruktif, tidak defensif, dan meningkatkan kemampuan lateral. Seseorang akan
melakukan sesuatu sebaik mungkin ketika perasaannya senang. Perasaan senang
meningkatkan efisiensi mental, membuat orang lebih baik dalam memahami
informasi dan membuat keputusan yang memerlukan pertimbangan rumit, serta lebih
lentur dalam berpikir.
Penelitian
menunjukkan bahwa perasaan gembira membuat seseorang melihat orang lain atau
suatu peristiwa dari sisi positif. Pada
gilirannya hal itu akan membuat orang bersangkutan merasa lebih optimis
mengenai kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan, meningkatkan kreatifitas,
dan mengambil keputuan, serta membuatnya cenderung lebih suka menolong orang
lain (Goleman, 2002: 14).
Penelitian
lain menunjukkan bahwa para siswa akan mencapai hasil terbaik apabila guru:
1.
Memahami dan tanggap terhadap kebutuhan,
perasaan, minat, dan kemampuan siswa.
2.
Menciptakan suasana atau iklim kelas
yang gembira dengan percakapan yang menyenangkan serta suasana ceria penuh
gelak tawa.
3.
Menunjukkan kehangatan dan pandangan
positif terhadap siswa. (Goleman,
2006:283)
Interaksi
antara anggota komunitas sekolah ( kepala sekolah, guru, pegawai administrasi,
dan siswa) dapat dijadikan arena oleh kepala sekolah untuk memberikan teladan
secara informal kepada siswa melalui sikap, tindakan, dan perkataan. Interaksi
dan pergaulan sosial yang mendekatkan secara emosional semua anggota komunitas
membuat mereka merasa sebagai satu keluarga; sekolah akan dirasakan sebagai
rumah kedua; siswa merasa aman, diperhatikan, dan dihargai.
Interaksi
dan pergaulan sosial di sekolah memberikan peluang bagi semua anggota komunitas
untuk mengembangkan dan menguatkan berbagai kebiasaan baik, seperti bertindak
adil, rendah hati, santun, peduli, saling menghormati, saling menghargai,
belajar berterima kasih, belajar berbagi, belajar berkontribusi, dan belajar
berempati. Interaksi dan pergaulan sosial juga dapat dipakai sebagai forum
untuk menyoroti kasus dan permasalahan karakter yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat melalui interaksi yang sifatnya informal (Yayasan Jati
Diri Bangsa, 2011: 56-57).
b. Pengembangan Suasana Pembelajaran
di Kelas
Dalam
pendidikan karakter, siswa secara bersama-sama dapat mengambil tanggung jawab
untuk mengembangkan kebiasan baik sebagai suatu kelompok, tidak hanya
sendiri-sendiri. Caranya adalah dengan mengajak para siswa dalam suasana kelas
untuk bersama-sama menentukan ciri-ciri kelas yang mereka banggakan.
Pada
awal tahun ajaran, wali kelas mengundang atau meminta para siswa dari kelas
yang dibinanya melakukan diskusi untuk menentukan dan menyepakati bersama ciri-ciri
kelas mereka yang dapat membuat mereka bangga menjadi warga kelas tersebut.
Ciri-ciri ini hendaknya dinyatakan dalam perilaku atau sifat-sifat baik dari
warga kelas dan suasana kelas- biasanya lima sampai sepuluh ciri. Kesepakatan
ini dicapai melalui diskusi kelompok dan kemudian diskusi kelas. Wali kelas
dapat menambahkan satu atau dua ciri yang dianggapnya sangat penting yang tidak
muncul dari hasil diskusi kelompok siswa.
Untuk
menguatkan komitmen dalam mewujudkan kelas yang dibanggakan, wali kelas dan
siswa menuliskan ciri-ciri kelas yang dibanggakan dan menandatanginya bersama.
Dokumen yang sudah ditandatangani ini bersama ditempatkan di ruang kelas agar
dapat terlihat oleh siswa dan guru setiap hari.
Secara
periodik- sekali seminggu atau sekali dalam dua minggu- wali wali kelas duduk
bersama untuk melakukan penilaian seberapa jauh para siswa kelasnya berhasil
mewujudkan ciri-ciri kelas yang dibanggakan dan mencermati bersama dalam hal
apa kelas yang bersangkutan belum mencapai keberhasilan seperti yang
diharapkan. Wali kelas memberikan apresiasi atau penghargaan kepada para siswa
atas keberhasilan yang telah dicapai dan para siswa mencari cara-cara dan
membuat komitmen baru untuk melakukan perbaikan apabila ada hal-hal yang dirasakan
masih memerlukan perbaikan.
c. Pengembangann Proses Pembelajaran
Pada Mata Pelajaran
(1) Pelajaran Sejarah Yang Kontekstual
Pelajaran
Sejarah dapat dijadikan salah satu wahana untuk:
· Meningkatkan
kecintaan terhadap bangsa dan negara;
· Membangun
rasa tanggung jawab sosial sebagai warga negara yang baik;
· Membangun
kemampuan mengapresiasi kebhiekaan dan keindonesiaan.
Untuk mencapai sasaran di atas, para
guru yang mengajarkan sejarah hendaknya dapat menyampaikan substansi pelajaran
sejarah dengan menjelaskan konteks peristiwa yang terjadi, sehingga siswa dapat
memahami suatu peristiwa dalam kaitannya dengan peristiwa atau keadaan lain
yang berlangsung saat itu atau sebelumnya. Dalam pelajaran sejarah, guru dapat
membantu dan mendorong siswa untuk mempelajari tokoh-tokoh yang berperan dalam
suatu peristiwa sejarah, misalnya dengan meminta mereka secara berkelompok
mempelajari biografi para pejuang kemerdekaan dan menceritakannya di depan
kelas. Yang perlu dihindari adalah menyajikan pelajaran sejarah sebagai deretan
tahun terjadinya peristiwa tanpa pemahaman apa yang terjadi, mengapa suatu
peristiwa terjadi, dan bagaimana dampak peristiwa tersebut terhadap
perkembangan selanjutnya. Untuk memperkaya pengalaman siswa dalam memahami
perjalanan sejarah, para siswa dapat diajak mengunjungi tempat-tenpat
bersejarah melalui lukisan, gambar, potret, film, atau mungkin juga kunjungan
fisik apabila sekolah kebetulan berlokasi dekat dengan lokasi terjadinya
peristiwa sejarah tersebut.
Pembelajaran seperti ini disebut juga
pembelajaran kontekstual, dalam rangka mengubah setiap pelajaran menjadi wahana
untuk mengembangkan karakter, bahan pelajaran perlu diperkaya dengan
pengetahuan kontekstual. Pengetahuan kontekatual ini mencakup pengetahuan
tentang latar belakang atau situasi atau lingkungan yang berkaitan dengan
pengetahuan substansi tertentu, seperti latar belakang historik, sosial,
ekonomik, atau kultural, atau kaitan antara pengetahuan substansial tertentu
dengan pengetahuan lain.
Pengetahuan kontekstual akan membantu
seorang siswa menghubungkan pengetahuan substansial dengan kehidupan nyata
sehari-hari sehingga pendidikan menjadi dekat dan tidak terlepas dari
kehidupan.
(2) Pengayaan Pelajaran Bahasa
“Bahasa Menunjukkan
Bangsa”; inilah ungkapan yang menunjukkan bahwa apa yang dikatakan seseorang
serta cara mengatakan atau mengungkapkannya menunjukkan tinggi rendahnya
“kualitas” orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, menumbuhkan kebiasaan
memakai kata-kata baik dan mengungkapkannya dan mengatakannya dengan baik dapat
menjadi salah satu cara untuk pendidikan karakter. Berikut beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menjadikan pelajaran Bahasa sebagai wahana untuk
pendidikan karakter:
·
Memperkenalkan para siswa pada berbagai
kekuatan karakter melalui bacaan.
Hal ini dapat dilakukan
guru dengan menugaskan para siswa menelaah tulisan-tulisan atau risalah yang
padat dengan muatan karakter. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki kumpulan
tulisan yang diharapkan dapat menggugah para siswa. Tulisan ini bisa berasal
dari koran, majalah, atau bagian dari suatu buku. Siswa diminta membuat catatan
tertulis mengenai tokoh-tokoh yang ada dalam tulisan yang mereka baca. Kemudian
kepada mereka diberikan kesempatan untuk mendiskusikan tokoh-tokoh yang ada
dalam bacaan tersebut, memilih tokoh-tokoh favorit mereka, dan menjelaskan
alasan pemilihan itu. Bahan bacaan ini diharapkan dapat menjadi sumber
inspirasi baggi para siswa untuk mengembangkan kebajikan yang ada dalam diri
mereka.
·
Meningkatkan kepercayaan diri siswa.
Hal ini dapat dilakukan
dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan pendapat atau buah
pikiran di depan teman-temannya, dalam hal ini termasuk kesempatan untuk
menyusun naskah pidato dan berpidato di depan kelas. Siswa juga dianjurkan
menyampaikan pendapat dan buah pikiran dengan bahsa yang baik.
·
Mengenali kata-kata atau ungkapan yang
menunjukkan karakter baik dan mempraktikkannya.
Kata-kata atau kalimat
merupakan perwujudan verbal dari tata nilai, niat, dan sikap. Ada kata-kata
yang berkaitan dengan sopan santun, ada yang berkaitan dengan kerendahan hati,
ada yang berkaitan dengan empati, berkaitan dengan rasa ingin tahu, rasa
syukur, kegigihan, rasa percaya diri, keberanian, dan sebagainya. Melalui
pelajaran Bahasa para siswa secara sistematik dibantu mengenali kata-kata dan
ungkapan yang berkaitan dengan sikap atau sifat positif dan didorong untuk
lebih sering memakai kata-kata dan ungkapan positif tersebut dalam pergaulan
sehari-hari
·
Meningkatkan kreativitas dan kepekaan
terhadap keindahan bahasa.
Hal ini dapat dilakukan
dengan memperkenalkan kepada para siswa karya-karya sastra yang bermutu,
termasuk pantun, sajak, dan puisi. Siswa juga diminta menulis pantun, sajak,
atau tulisan lain yang bertemakan karakter.
·
Mengapresiasi usaha dan hasil karya
siswa.
Dalam semua kegiatan
yang dilakukan siswa, seorang guru hendaknya selalu siap memberikan apresiasi
kepada para siswa ata usaha yang mereka lakukan dan atas karya yang mereka
hasilkan. Untuk itu, seorang guru perlu memperhatikan para siswanya agar dapat
melihat keunikan atau kelebihan seorang siswa, baik dalam kerjanya maupun hasil
karyanya.
d. Tema Karakter Mingguan
Suasana
hubungan sosial muncul dari interaksi antara anggota komunitas-antara kepala
sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa- dan tema-tema percakapan
diantara anggota komunitas. Sikap, perilaku, ucapan yang terjadi dalam
pergaulan sosial sehari-hari diantara para anggota komunitas secara langsung
memberi indikasi tentang karakter yang diharapkan berkembang pada warga
komunitas (Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011:56). Dengan menetapkan tema
karakter yang akan dijalankan pada periodesasi tertentu maka akan dapat
melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Tema karakter
mingguan dapat dibuat dengan kesepakatan bersama, sehingga dalam pelaksanaanya
akan dapat bahu-membahu antara anggota komuntas yang terlibat di dalamnya.
e. Buletin Berkala/ Majalah Dinding
Buletin
berkala ataupun majalah dinding yang diterbitkan di sekolah-sekolah dapat
menjadi media untuk menarik perhatian para siswa terhadap peran karakter dalam
kehidupan dan memberikan inspirasi kepada siswa untuk mengembangkan karakter.
Caranya adalah dengan menyediakan kolom khusus dalam setiap penerbitan untuk
tema yang bertemakan karakter. Tulisan dalam kolom ini dapat berisi riwayat
hidup singkat tentang orang-orang yang dalam hidupnya menunjukkan kekuatan karakter atau kutipan
dari buku-buku mengenai pengembangan diri.
Agar
para siswa dapat termotivasi menulis tentang karakter, sekolah dapat
menyelenggarakan sayembara atau festival mengenai penulisan karakter. Setelah
diberikan apresiasi atau penghargaan, tulisan yang dibuat dimuat berturut-turut
dalam buletin berkala ataupun majalah dinding.
Keberadaan
buletin sekolah dann majalah seklah akan dapat menumbuhkan nillai karakter pada
siswa antara lain Berpikir logis, kritis, kreatif,inovatif. Karakter ini dapat
dikembangkan melalui pembuatan majalah dinding (Mading) yang bertema
keselamatan kerja di laboratorium atau pelestarian lingkungan. Mading ini dapat
memuat puisi, cerpen, puzzle, karikatur dan lain sebagainya.
Dengan
adanya buletin sekolah, para siswa juga akan dilatih untuk memiliki sifat ingin
tahu yang tinggi dan kritis, hal ini dikarenakan dalam peliputan berita atau
info yang dimuat dalam penerbitan buletin/majalah sekolah akan melatih siswa
untuk menerapkan prinsip-prinsip seorang jurnalis, seperti kerja keras, tanggung
jawab, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan kritis.
f. Pertemuan Berkala
Selain
para guru dan kepala sekolah, orang tua siswa pun perlu menambahkan pengetahuan
mengenai pendidikan karakter. Untuk itu, kepala sekolah dapat menyelenggarakan
pertemuan berkala dengan orang tua siswa dan membahas topik tertentu yang
berkaitan dengan pendidikan karakter. Selama ini sekolah menginformasikan
kepada orang tua prestasi akademiknya saja. Dalam meningkatkan peran sekolah
untuk pendidikan karakter, orang tua siswa juga perlu mendapatkan informasi
mengenai prestasi putera-puteri mereka dan prestasi sekolah dalam pendidikan
karakter.
Orang
tua perlu mendapatkan informasi mengenai kebaikan yang telah dilakukan anak
mereka di sekolah, kebiasaan baik baru yang berkembang, dan kebiasaan baik lain
yang potensial bisa dikembangkan dalam diri anak mereka. Disamping itu, orang
tua juga perlu diberitahu mengenai prestasi sekolah secara keseluruhan dalam
bidang pendidikan karakter, seperti tingkat kedispinan siswa, tingkat kejujuran
siswa, tingkat tanggung jawab siswa dalam menjaga lingkungan sekolah, kualitas
sopan santun dalam pergaulan di sekolah, tingkat perilaku pro-sosial seperti
kebiasaan saling menghormati dan saling menghargai.
Dalam
penguatan dan pengembangan pendidikan karakter di sekolah, setiap unsur dalam
komunitas sekolah harus memiliki
persepsi yang sama terkait dengan pelaksanaan setiap program yang dijalankan.
Untuk itulah diperlukan pertemuan berkala antara kepala sekolah, guru, peserta
didik, orang tua siswa dan unsur-unsur komunitas sekolah lainnya mengenai
kebiasaan baik yang hendak dikembangkan di sekolah. Pertemuan berkala dilakukan
untuk menyusun suatu Pedoma perilaku yang akan dilaksanakan di sekolah.
Pedoman
perilaku adalah sebuah dokumen yang memuat jenis kebiasaan baik yang hendak
dikembangkan di sekolah dalam kegiatan dan interaksi sehari-hari, baik di dalam
kelas, di luar kelas, maupun dalam interaksi warga sekolah dengan masyarak
sekiranya.
Tujuan
pertemuan tersebut adalah untuk membangun komitmen untuk bersama-sama
menjalankan kebiasaan baik tersebut dalam anggota komunitas sekolah sehari-hari,
membangun suasana pergaulan di sekolah yang diwarnai kebajikan, melakukan
penilaian secara periodik seberapa jauh sekolah berhasil mengembangkan
kebiasaan baik dalam rangka pendidikan karakter di sekolah, dan melakukan
usaha-usaha yang terarah dalam melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap
pendidikan karakter di sekolah ( Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa, 2011: 121).
Dalam
membangun komitmen melaksanakan pedoman perilaku di sekolah, beberapa langkah
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Penyusunan pedoman perilaku dilakukan
bersama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah. Jadi, sejak awal
pihak-pihak yang berkepentingan sudah terlibat dalam proses penyusunan pedoman
perilaku. Inilah tahap pertama untuk belajar dan membangun komitmen bersama
dalam menyusun dan melaksanakan pedoman perilaku.
2.
Kepala sekolah mengkomunikasikan dan
menjelaskan pedoman perilaku tersebut kepada semua orangtua murid dan mengajak
untuk bekerja sama agar para siswa dapat mengembangkan kebiasaan baik sesuai
dengan pedoman perilaku, di sekolah maupun di rumah. Dalam forum komunikasi
ini, kepala sekolah dapat mengajak orang tua siswa untuk menyatakan komitmen
yang akan mereka berikan dalam membantu putera-puteri mereka agar lebih
berhasil dalam mengembangkan kebiasaan baik.
3.
Wali kelas menjelaskan pedoman perilaku
kepada siswa di kelas yang dibinanya, khususnya menyampaikan kepada siswa
mengapa pedoman perilaku ini diperlukan, manfaat mengembangkan kebiasaan baik
bagi siswa,dan mengajak serta menggugah para siswa untuk bersama-sama
menjalankan pedoman perilaku di sekolah demi kebaikan bersama.
4.
Sekolah merumuskan cara-cara memantau
pelaksanaan pedoman perilaku dalam kegiatan dan interaksi warga sekolah
sehari-hari dan menugaskan satu tim yang terdiri atas guru-guru untuk melakukan
pemantauan.
5.
Secara periodik- misalnya setiap bulan-
semua anggota warga sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan pegawai
adminstrasi, melakukan evaluasi seberapa jauh mereka berhasil menjalankan
pedoman perilaku tersebut. Hasil evaluasi diri siswa dicermati dan ditanggapi
oleh wali kelas dan disampaikan kepada orang tua siswa untuk diketahui.
6.
Secara periodik-misalnya setiap bulan-
tim pemantau menyusun laporan hasil pemantauan pelaksanaan pedoman perilaku
kepada kepala sekolah. Laporan tersebut disampaikan serta didiskusikan dalam
suatu rapat dengan guru-guru dan komite sekolah. Rapat ini juga merumuskan
langkah-langkah nyata untuk perbaikan apabila masihada kekurangan dalam
pelaksanaan pedoman perilaku sekolah.
7.
Secara periodik-sekali dalam sabulan
atau dua bulan- kepala sekolah menyampaiakan kemajuan sekolah dalam menjalankan
prdoman perilaku sekolah kepada semua warga sekolah, misalnya kepada siswa
dalam apel pagi. Dalam menyampaikan kemajuan tersebut, kepala sekolah dapat
memberikan apresiasi kepada unsur-unsur warga sekolah yang sudah melakukan
pedoman perilaku dengan baik atau melebihi harapan dan mengajak semua warga
sekolah untuk berusaha mencapai hasil yang lebih baik lagi.
Setiap akhir tahun ajaran, sebelum tahun
ajaran baru dimulai, kepala sekolah, guru-guru, dan komite sekolah melakukan
pertemuan lagi untuk evaluasi terhadap pelaksanaan pedoman perilaku sebagai
bagian dari evaluasi keberhasilan pendidikan karakter disekolah. Forum bersama
ini dapat dipakai untuk meninjau kembali atau memperbaiki pedoman perilaku dan
merancang hal-hal baru yang perlu dilakukan untuk memperbaiki pendidikan
karakter di sekolah (Zubaedi, 2011:122-124).
g. Mendatangkan Tokoh Idola Siswa.
Dalam
pendidikan Karakter, adanya tokoh idola bagi seorang siswa akan bisa membantu.
Tokoh idola merupakan personifikasi sifat-sifat ideal yang dikagumi siswa
bersangkutan. Sifat ideal itu bisa prestasi, kejujuran, keberanian,
kreativitas, kegigihan, optimisme, kedermawanan, atau sifat lainnya. Tokoh
idola dapat memberi inspirasi dan menumbuhkan motivasi bagi siswa untuk
meneladani kebajikan yang ada pada tokoh idola tersebut. Sebab itu,
memperkenalkan berbagai tokoh dalam berbagai bidang kehidupan kepada siswa
menjadi sangat penting. Pengenalan tokoh ini dapat dilakukan melalui berbagai
media: bahan bacaan, seperti buku, majalah, surat kabar, atau dengan langsung
mendatangkan tokoh idola tersebut ke sekolah.
Dalam salah satu
tulisannya mengenai pendidikan yang berjudul “Menjadi Guru di Masa Kebangunan”,
Bung Karno memulai risalahnya dengan kutipan: “ Anda tidak bisa mengajarkan apa
yang anda mau. Anda tidak bisa mengajarkan apa yang anda tahu. Anda hanya
mengajarkan siapa anda” ( Soekarno, 1965: 611). Kata bijak ini sangat berlaku
untuk pendidikan karakter. Orang tua, atau kepala sekolah, atau guru dapat
membantu seorang anak atau siswa belajar mengembangkan karakter dengan memberi
contoh teladan yang baik melalui perilaku, perkataan, dan sikap baik sehari-hari.seorang
guru yang baik dapat menjadi tokoh panutan bagi siswa. Disamping menemukan
panutan di sekolah,proses belajar yang dirancang kreatif juga dapat membantu
siswa menemukan tokoh panutan di masyarakat, baik di masyarakat lokal maupun
internasional. Memperkenalkan para siswa dengan tokoh-tokoh yang menunjukkan
kekuatan karakter melalui berbagai kegiatan atau media akan sangat membanu para
siswa menemukan panutan. Cara ini sering disebut cara tradisional dalam
pendidikan karakter (Yayasan Jati diri Bangsa, 2011: 58-59).
BAB III
PENUTUP
Pembentukan
pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama. Setiap pihak yang
menginginkan terjadinya perubahan pada masyarakat bahkan lebih luas lagi pada
lingkup negara dan dunia perlu membangun komitmen yang kuat untuk dapat
mewujudkannya.
Sekolah
dengan komunitasnya dapat mulai melakukan pembentukan dan penguatan pendidikan
karakter bagi segenap unsur yang ada di dalamnya. Penetapan konsep yang jelas
dan langkah-langkah praktis harus dipersiapkan dan dilaksanakan demi terwujudnya
karakter yang unggul.
Daftar
Pustaka
Akhmad Muhaimin Azzel.(2011). Urgensi pendidikan karakter di indonesia. Jakarta:
Ar Ruzz Media.
Balitbang Kemendiknas. (2010). Pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
Darma Kesuma,
Cepi Triatna, Johar Permana.(2011) Pendidikan Karakter: Kajian teori dan
praktik di sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Darmiyati
Zuchdi. (2011). Pendidikan karakter dalam
prespektif teori dan praktik. Yogyakarta: UNY Press
Dimyati. (2010).
Peran guru sebagai model dalam
pembelajaran karakter dan kebajikan moral melalui pendidikan jasmani.
(Yogyakarta, UNY, mei 2010, Th. XXIX, edisi khusus dies natalis UNY).
Donie Koesoema. (2010).
Pendidikan karakter: Strategi mendidik
anak di zaman global. Jakarta. Grasindo
Elkind, David H. & Sweet, Freddy. (2004). How to do character education. Artikel.
Diambil pada tanggal 17 Nopember 2011 dari: http://www.wilderdom.com/Character.html
Goleman, Daniel.(2002). New leaders. Little Brown.
Goleman, Daniel. (2006). Social Intelegence. Bantam Book.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for character. How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
Muchlas Samani
dan Hariyanto. (2011). Konsep dan model pendidikan karakter. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Said Hamid Hasan, Abdul Aziz Wahab, Yoyok Mulyana, et al.
(2010). Pengembangan pendidikan budaya
dan karakter bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Pusat
Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Soekarno.
(1965). Mendjadi Goeroe Dimasa Kebangoenan: Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid
Pertama. Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Tim
Pakar Jati Diri Bangsa. (2011). Pendidikan
karakter di sekolah: Dari gagasan ke
tindakan. Jakarta. Elex Media Komputindo.
Zubaedi.
(2011). Desain pendidikan karakter:
Konsepsi dan aplikasinya dalam lembaga pendidikan. Jakarta. Kencana.
Langganan:
Postingan (Atom)